Perjalanan Panjang yang akan segera berakhir

CINTA ATAU DOSA ?

23.05 by Unknown
Dari Sebuah Blog teman aq membaca sebuah cerpen, memang sedikit berbau pornografi (*sedikit tapi ) namun saya tidak melihat dari sisi tersebut , saya melihat dari pengemasan kata katanya yang membuat cerpen ini bukan cerpen porno biasa, tapi lebih berbobot dan juga lebih ke arah yg baik yakni menasihati kita, Untuk penulis, sebagai penghormatan aq tulis di blogq ya, semoga beliau dapat jalan terbaiknya........ maaf jika ada yg kurang berkenan , hal ini saya posting bukan bermaksud pornografi tapi sisi Seni akan kata2 yg sangat bagus dan pantas untuk dibaca.

Mari kita simak Cerpen berikut :



CINTA ATAU DOSA ?

Ada tiga jejak yang kau tinggalkan. Satu, di celana dalamku. Dua, di pahaku. Dan yang ketiga, bersemayam di vaginaku. Kali ini, prajuritmu memang tak sampai bertemu dengan Permaisuriku yang sedang masuk masa subur. Sebab kau sendiri yang mengurung koloni berekor itu dalam tabung elastis berwarna putih. Entah siapa diantara kita yang belum sanggup jadi induk.

Sore tadi, lagi-lagi kasur di dalam kamar milikmu yang menjadi saksi. Tidak ada siapa pun, hanya kita berdua. Ini bukan kali pertama kita melakukannya. Aku telah hampir terbiasa membaca puncak tamasya berahimu. Bahkan, telah fasih tanganku mendekapmu saat lelehan lengket itu akhirnya tumpah.


Tidak pernah ada derit ranjang yang menemani kita. Hanya sisa peluh dan derap napas. Kadang terdengar sedikit lolongan tanpa irama. Namun, masing-masing dari kita telah sama tahu untuk buru-buru menyembunyikan setiap suara. Toh, kita masih tetap dapat saling menikmati. Dan nafsu tidak pernah ambil peduli atas sunyi.


Perjumpaan kita terbilang sederhana. Hanya dibekali dua cangkir kopi dalam temaram warna petang. Kita sama-sama duduk menyendiri di pojok kafe yang ramai dibalut aroma tembakau. Aku terkesan dengan keberanianmu menyuguhkan nama dan sebuah jabat tangan formal.

Kala itu, aku memang sedang butuh teman. Lalu, kau hadir. Tidak bersama dengan apapun. Tanpa telinga yang sudi mendengar, tanpa bibir yang doyan berdendang. Hanya kau saja. Dan secangkir kopimu yang isinya tinggal separuh.

“Sendirian?”

Selalu pertanyaan bodoh semacam ini yang mendarat dalam awal sebuah perkenalan. Aku cuma mengangguk dan tersenyum. Bukankah matamu telah sejak setengah jam lalu memandangiku duduk sendiri di sofa ini?

Tanpa diminta, kau telah meletakkan dirimu di sampingku. Matamu menawan berperisai lensa. Aku semakin terkesan. Ada sesuatu dalam diriku yang berkata bahwa kita tidak hanya akan berakhir petang itu. Mungkin kau juga merasakan getar yang sama. Sebab sebelum kita berpisah, telah kau tinggalkan nomor ponselmu.

Bagiku, kau tidak terlampau istimewa. Kulitmu sawo matang, tampil sangat serasi dengan warisan paras Jawa. Sosokmu jauh dari kesan gempal, bahkan tergolong kurus. Pribadimu cukup unik. Seorang Virgo yang pekerja keras, yang terlalu bangga akan diri karena sudah tak lagi disuplai orang tua sejak beberapa tahun silam. Sebuah kemandirian yang kau anggap eksklusif. Aku tidak pernah mengerti, mengapa kesederhanaan itulah yang nyatanya telah membuatku terpikat.

Waktu kiranya tak pernah bicara bohong. Lihat saja, ia yang kemudian membawa kita bersama. Aku sepatutnya berterimakasih pada teknologi pesan singkat yang sudi menyatukan kita. Enam puluh satu hari setelah perkenalan itu, aku telah resmi menjadi kekasihmu.

Engkau adalah pacar pertamaku. Tidak ada sosok Adam lain yang mendahuluimu. Riwayat percintaanku memang payah. Tidak seperti milikmu yang dimateraikan oleh puluhan perempuan. Walau begitu, kau bukan cinta pertamaku. Ada seseorang di luar sana yang telah lebih dulu mencuri hatiku. Namun entah bagaimana, kau berhasil merebutnya kembali.

Aku lantas menjelma laksana gadis berumur tujuh belas tahun yang baru mengenal haid. Terhanyut dalam roman percintaan pertamaku. Kehadiranmu adalah napas baru bagi hidupku. Yang memberi debar pada setiap jumpa, dan semu merah atas segala rayu. Kau yang menenggelamkanku dalam rasa rindu.

Adalah kau pria yang mengecup bibir perawanku. Sempat ragu kukecap sisa manis tembakau saat kita saling berpagut. Pelukmu membungkusku hangat, seakan tahu aku adalah pemain amatir. Itulah kali pertama aku merasa tanah telah raib dari pijakan. Dan tanpa upacara penobatan, mendadak kau telah menjadi pangeran hati.

Aku tidak pernah tahu bagaimana Tuhan meracik cinta. Namun, malam itu aku mengerti, cinta kiranya adalah bubuk mesiu dalam selongsong senapan. Semesta telah mengantarkan kita pada gairah. Cinta pun lantas meledak sangat cepat tersulut percikan kimia antara kau dan aku. Dan seperti Adam, kau pun mencicipi buah terlarang itu. Menikmati ranumku.

Terdengar letup serta desis dari kuali yang mendidih, dari dua tubuh yang telanjang. Tanganmu bagai selusur tanaman yang melilit tubuhku. Aku terhimpit. Tapi tidak pernah ada suara dalam diriku yang menghendakimu untuk pergi. Hanya ada kenikmatan. Rasa sakit yang nikmat, yang mungkin akan kita kekalkan dalam erangan. Ketika tengah kau gapai puncak gelora, aku tak lagi sempat menjerit. Ada yang meruntuhkan tanggulku.

Sesungguhnya, aku adalah perempuan klasik yang berjanji pada diri sendiri untuk teguh menjaga kesucian, hingga tiba pada pelabuhan terakhir dalam hidup. Bertahun-tahun, kubekukan hasrat dalam kepingan usia. Sementara harta karun itu kulindungi dengan segenap raga, yang mengusung bambu runcing sebagai tentara.

Tapi, ternyata garis tanganku berbicara lain. Sepotong janji usang tersuruk ke dasar jurang. Lantas nafsuku pun merdeka. Mengiringi tiba saatnya bercinta pertama kali dengan seorang lelaki yang juga perawan.

Mungkin hari itu adalah hari yang diberkahi. Dengan malam yang hangat saat rembulan Agustus mengawali hari pertama metamorfosisnya. Diantara gemetar kau bubuhkan tanda tangan pada faktur terima barang. Tidak hanya jiwaku, tapi juga tubuhku yang perawan. Telah lengkap dunia menemani langkahku pada penyerahan diri yang sempurna. Aku milikmu seutuhnya.

Engkaulah lelaki yang akan kucintai sepanjang hidup. Tempatku menyandarkan jangkar. Aku tidak terdampar. Tidak lagi sendirian. Inilah tepian pantai dalam ujung bulat bumiku. Telah kutemukan rumahku.

Dan, seperti inilah rasanya pulang. Nyaman dan memabukkan. Seperti anestesi sisa operasi yang tak kunjung hilang. Juga serupa candu yang membius. Terlalu kuat, terlalu nikmat. Menggiring kita berdua dalam lingkaran yang membelenggu.

Kita tidak butuh piala untuk merayakan terbukanya rimba diri. Sebab rasa sakit yang semula datang kini telah binasa. Digantikan dengan serbuan gelepar yang menjerat. Sebuah kebutuhan, untuk terus mengulang.

Kau pun tak perlu lagi mengetuk pada pintuku. Sebab engselnya telah lepas. Hanya tersisa sedikit remang yang mekar saat kecupmu menyentuh leherku. Sebuah visa menuju perjalanan yang tak terekam waktu. Mendebarkan.

Adakah kita telah menjelma menjadi penjelajah yang berani? Ataukah kita hanya remaja yang ketagihan morfin? Duhai, Kekasih, yang manakah kita?

Mengingat ranjang tempat kita bersetubuh hanya beralas iman yang merapuh. Berada persis di perbatasan surga dan neraka. Dimana satu sama lain saling membuka jalan bebas hambatan. Dengan aspal keabuan yang lengang, dan loket tanpa antrian.Entah perasaan siapa yang sebenarnya tersakiti setiap kali kita menutup kencan dengan petualangan. Aku? Kau? Atau orang tua kita?

Ah, betapa cinta dan dosa telah saling berhadapan. Selayak madu dan racun yang tertukar. Kita tidak pernah menjatuhkan pilihan. Sebab keduanya memiliki manis yang sama saat kita dahaga. Perpaduan itu lantas menjadi istimewa. Tanpa rasa puas, tanpa rasa jemu.

Seperti sore tadi, aku kembali merebahkan diri berbantalkan tanganmu. Ada desir hangat yang akrab setiap kali tubuh kita menyatu. Seolah menaiki roller coaster dengan rel tanpa ujung. Dan jika telah tiba kita di akhir permainan, akan hadir pandangan mata yang saling berlomba menyeru untuk tidak berhenti. Kepuasan yang kekal.

“Tinggal tiga nih.”

Suaramu membuyarkan kenikmatan yang baru saja aku rengkuh lewat aksimu memangsa setiap jengkal tubuhku. Aku beringsut menjauhimu, memendam gelisah yang sekejap telah ikut hadir. Aku tahu, angka yang kau sebut itu akan menandai berakhirnya petualangan kita. Otakku sibuk mengkalkulasikan setiap kemungkinan yang muncul. Hanya ada tiga kondom. Hanya tersisa tiga kesempatan untuk mencumbumu.

Teringat oleku percakapan kita terakhir kali. Ketika aku berusaha mencari sebab atas usulmu untuk menghentikan luapan banjir dosa. Katamu, ini semua untuk Bumi, buah cinta kita yang hingga saat ini masih berwujud nama. Aku mengerti, tidak akan pernah ada tempat dan waktu yang tepat mengiringi persetubuhan di luar nikah.Namun, entah mengapa sungguh teramat berat melepaskannya. Enggan aku menyaksikan keputusan ini mengusang selayak janji kesucianku dahulu. Aku masih ragu apakah kita sanggup. Prasangka buruk bermunculan tanpa alasan.

Mungkinkah telah kau jumpai setan jahat bernama bosan?Pertanyaan ini lesak menguap saat kau kembali bergerilya. Setiap gerak yang kita buat seolah telah saling berbahasa. Ini adalah titik akhir lingkaran kita. Seakan tak ingin kehilangan, kita lantas hanyut. Kau bubuhkan perekat terakhir yang membuat setiap pori tubuh kita mekar dan memancarkan keringat.Aku bagai akar singkong yang tercabut dari tanah. Tak kuhiraukan lagi ketiga bungkus pengaman yang menggeletak pasrah di samping kita. Kuterbangkan doa pada Tuhan. Jika ini memang yang terakhir kali, kumohon jadikanlah sempurna. Aku hanya ingin kau, memilikimu selamanya.

“Selesai. Setelah ini nggak ada lagi.”Aku menatap nanar pada senyum yang menyertai lisanmu bicara. Suaramu tak cukup jelas, berdesakan diantara sengal sisa marathon. Ada isak yang menghentak nurani namun enggan kuungkap. Gemingku mengalun bersama senyum. Kuharap engkau tidak pernah tahu itu adalah senyum kupaksakan. Sejenak aku merasa hampa. Telah mulai kurindu perbatasan surga dan neraka.Sekali lagi, kau letakkan dirimu di sampingku. Kali ini tanpa secangkir kopi, tanpa hangat petang. Hanya kau saja.

Kita berbaring berdampingan, dengan tangan yang tergenggam. Separuh diriku merambat pada langit-langit kamar. Mencari hati untuk meneguhkan diri.Aku berharap ada tekad yang menggantung di sana. Nihil. Justru kelebat memori tentang kita yang melintas. Pengembaraan kita, dari satu tempat ke tempat lain. Malam-malam hening yang kita habiskan dalam persembunyian. Dunia tidak pernah tahu.

Hanya para resepsionis hotel yang menyita kartu kreditmu untuk sebuah ranjang satu kali pakai. Seandainya kita hendak diadili, tentu mereka yang pantas jadi saksi.Tidak pernah kutelusuri langkah pertama yang membawa pusat kendali mengijinkanmu menjelajahi ragaku. Tidak juga pernah kusesali setiap percumbuan itu. Perkara ini bukan semata daksa yang dilumuri berahi. Bukan pula kecerobohan dalam bertindak. Atau ketergesaan yang diburu oleh nafsu. Aku telah memilihmu.

Untuk menjadi pendamping hidupku, ayah dari anak-anakku.Tuhan mungkin tak percaya, jikalau keputusan itu murni telah dirangkai lewat ratusan pertimbangan. Semesta boleh pula mencibir, namun aku berkeras pada teguhku. Aku menginginkanmu, kini dan selamanya. Ada keterkaitan yang aku rasa setiap kita melakukannya.

Cinta yang kian besar dan nyata. Tidak ada lagi yang tersembunyi atas diri. Kuselami samudramu, kusingkap rimbamu, kuresapi jiwamu. Telah kumiliki dirimu. Pun, telah kaumiliki aku.“Aku sayang kamu, dengan atau tanpa melakukan ini semua.”
Hanya sebait sajakmu yang kuingat sebelum malam redup dalam lelah. Aku masih berbungkus dekapmu. Sesaat telah tumbuh damai yang membesarkan tekad. Namun, diri masih terlalu goyah untuk berpegang pada ikrarmu.
Bimbang menyeretku untuk segera menjawab tanya dalam tatapanmu. Aku mengangguk, membubuhkan stempel persetujuan tentang akhir petualangan cinta kita. Senyummu mengembang, indah serupa mahakarya. Lalu bibirmu merenggut napasku. Kita saling dekap tanpa banyak bicara. Terbenam dalam cinta. Cinta yang mencipta dosa. Duhai, Kekasih, adakah sumpah kita telah sanggup membilasnya?



Solo,9 juli 09
Salam Orang Gila Dari Timur
GABON
000 Klik Disini untuk Baca selengkapnya......!!!! 000